Rabu, 09 April 2014

Pengetahuan Dasar Farmakologi Klinik

Beberapa alasan yang melatarbelakangi ilmu dan pengembangan farmaklogi klinik, antara lain :
  • Jenis obat yang tersedia untuk pengobatan semakin banyak
  • Pemakaian obat yang tidak tepat dan rasional
  • Terjadinya bencana-bencana pengobatan
Termasuk juga masalah penggunaan obat didalam klinik yang harus betul-betul memperhatikan prinsip-prinsip pemilihan dan pemakaian obat di klinik secara benar. Hal ini tidak lepas diperlukannya pengetahuan yang baik tentang obat yang didapatkan melalui penelitian yang benar pula. Dari permasalahan dan aspek-aspek tersebut sangatlah dibutuhkan adanya pengetahuan mengenai ilmu tentang farmakologi klinik. Sedangkan maksud dan tujuan farmakologi klinik pada prinsipnya adalah penelitian ilmiah terhadap penggunaan obat pada manusia.
Jurnal dari Kelompok kerja Farmakologi Klinik WHO-Eropa (1988) memberikan definisi farmakologi klinik merupakan "disiplin ilmu yang berdasarkan prinsip-prinsip ilmiah menyatukan keahlian farmakologi dan keahlian klinik dengan tujuan akhir untuk meningkatkan manfaat dan keamanan pemakaian klinik obat".

Apakah beda antara Farmakologi Dasar dan Farmakologi Klinik ?
Gambaran mengenai farmakologi dasar antara lain :
  • mempelajari interaksi antara obat dan sistem biologis, meliputi farmakodinamik dan farmakokinetik.
  • mempelajari sifat-sifat obat, efek obat, mekanisme terjadinya efek, dan nasib obat dalam tubuh.
  • fokus kepada : hubungan antara dosis dan efek biologis obat, pengikatan obat pada tempat aksi, mekanisme aksi obat, absorpsi, distribusi, metabolisme dan eksresi obat dan hubungan antara struktur kimia obat dengan aktivitas biologis.
  • disiplin ilmu berbasis laboratorium.
Sedangkan farmakologi klinik adalah
  • penerapan ilmu farmakologi dalam klinik, yakni bagaimana mempelajari efek obat dan nasib obat pada sistem biologik manusia dan bagaimana memakai obat-obat tersebut dengan prinsip-prinsip ilmiah dalam klinik untuk pencegahan dan pengobatan penyakit.
  • memberikan dasar untuk pemakaian obat secara benar/rasional dalam klinik.
  • bertujuan agar pemakaian klinik obat dapat efektif, aman dan rasional pada pasien.
Sejarah Perkembangan Farmakologi Klinik
Rudolph Bucheim (1820 – 1879 M)
  • “Fortunately a surgeon who uses the wrong side of the scalpel cuts his own fingers and not the patient; if the same applied to drugs they would have been investigated very carefully a long time ago.”
  • Placing emphasis on therapeutic technique and rational prescribing.
  • Rudolph Bucheim : Beitrage zur Arzneimittellehre (1849).
Harry Gold & Walter Moddel  (1930-an)
  • Founder of American Clinical Pharmacology
  • 1937 – Introduced Double-Blind Clinical Trial Design 1
  • 1939 – Initiated Cornell Conference on Therapy
  • 1953 – Analized Digoxin Effect Kinetics to Estimate Absolute Bioavailability as well as Time-Course of Chronotropic Effects2
  • 1960 - Founded Clinical Pharmacology and Therapeutics
Paul Martini  (1930-an)
  • Founder of Europe Clinical Pharmacology
  • Methodology In Therapeutic Investigation
  • Menggambarkan penggunaan ”placebo”, kelompok kontrol, sistem pengelompokan, skala peringkat, dan desain percobaan ”N of 1” dan penekanan terhadap pentingnya perkiraan jumlah sample yang mencukupi dan untuk menegakkan kondisi dasar sebelum dimulainya percobaan klinik suatu calon obat baru.
Evaluasi dan Pengembangan Obat
Proses evaluasi dan pengembangan obat merupakan proses yang rumit dan kompleks. Rata-rata biaya yang diperlukan dari mulai isolasi atau sintesis senyawa kimia sampai diperoleh obat baru lebih kurang US$ 500 juta per obat. Melalui proses yang panjang dan membutuhkan waktu lama baru didapat obat baru. Bahkan obat baru tersebut hanya lolos 1 dari lebih kurang 10.000 senyawa yang disintesis karena resikonya lebih besar dari manfaatnya atau kemanfaatannya lebih kecil dari obat yang sudah ada.
Pengembangan uji praklinik hingga uji klinik
Uji Pra-Klinik
Uji Pra-Klinik dimaksudkan untuk mengetahui apakah obat menimbulkan efek toksik pada dosis pengobatan ataukah tetap aman dipakai.
Karena itulah penelitian toksisitas merupakan cara potensial untuk mengevaluasi berbagai aspek antara lain:
  • Toksisitas yang berhubungan dengan pemberian obat akut atau kronis
  • Kerusakan genetik
  • Pertumbuhan tumor
  • Kejadian cacat waktu lahir.
Dari pengamatan uji pra klinik dengan subyek hewan uji ini dapat dipakai acuan untuk menentukan apakah obat dapat diteruskan dengan uji pada manusia atau tidak.
Untuk mengurangi penggunaan hewan percobaan telah dikembangkan pula berbagai uji in vitro untuk menentukan khasiat obat contohnya uji aktivitas enzim, uji antikanker menggunakan cell line, uji anti mikroba pada perbenihan mikroba, uji antioksidan, uji antiinflamasi dan lain-lain untuk menggantikan uji khasiat pada hewan.
Dengan demikian dimasa yang akan datang perlu dikembangkan uji toksisitas secara in vitro.

Fase Uji Klinik
Ada beberapa tahapan/fase uji klinik mulai dari fase I sampai dengan fase IV. Fase-fase uji klinik yang harus dilalui adalah sebagai berikut :
1. Uji Klinik Fase I
Pada fase ini calon obat diuji pada sukarelawan sehat (dalam jumlah terbatas) untuk mengetahui apakah sifat yang diamati pada hewan percobaan juga terlihat pada manusia.
Untuk selanjutnya harus ditentukan pula hubungan dosis dengan efek yang ditimbulkannya dan profil farmakokinetik obat pada manusia.
2. Uji Klinik Fase II
Pada fase ini calon obat diuji pada pasien tertentu kemudian diamati efikasi pada penyakit yang diobati. Fase ini mempunyai maksud untuk menentukan efek potensial calon obat karena yang diharapkan dari obat adalah mempunyai efek yang potensial dengan resiko efek samping rendah atau tidak toksik.
Pada fase ini mulai dilakukan pengembangan dan uji stabilitas bentuk sediaan obat.
3. Uji Klinik Fase III
Tahapan ini sudah melibatkan kelompok besar pasien. Pada fase ini, obat yang duji dibandingkan efek dan keamanannya terhadap obat pembanding yang sudah diketahui. Contoh : Obat dengan kandungan nifedipin diuji efek dan keamanannya dengan pembanding yang sudah ada di pasaran seperti Adalat, Cordalat atau Vasdalat.
 Setelah calon obat dapat dibuktikan berkhasiat sekurang-kurangnya sama dengan obat yang sudah ada dan menunjukkan keamanan bagi si pemakai maka obat baru diizinkan untuk diproduksi oleh industri sebagai legal drug dan dipasarkan dengan nama dagang tertentu serta dapat diresepkan oleh dokter.
4. Uji Klinik Fase IV
Uji ini merupakan studi pasca pemasaran (post marketing surveillance) yang diamati pada pasien dengan berbagai kondisi, berbagai usia dan ras.
Studi ini dilakukan dalam jangka waktu lama untuk melihat nilai terapeutik dan pengalaman jangka panjang dalam menggunakan obat.
Setelah hasil studi fase IV dievaluasi masih memungkinkan obat ditarik dari perdagangan jika membahayakan sebagai contoh cerivastatin suatu obat antihiperkolesterolemia yang dapat merusak ginjal, Entero-vioform (kliokuinol) suatu obat antidisentri amuba yang pada orang Jepang menyebabkan kelumpuhan pada otot mata (SMON disease), dan lain sebagainya.

0 komentar:

Posting Komentar