?">RSS');
document.write('Featured Post 5');
document.write("?max-results="+numposts1+"&orderby=published&alt=json-in-script&callback=showrecentposts\"><\/script>");
Salam alaikum Sobat Ruang, pada kesempatan yang berbahagia ini, saya ingin share sebuah tulisan tentang keutamaan pemuda dalam islam,
kebetelan kemarin dalam kajian yang diisi oleh salah seorang Tuan Guru
di kampung saya membahas tentang Pemuda, walaupun tak persis seperti
penjelasan sang Tuan Guru, saya berharap maknanya tidak akan jauh
berbeda.
Ya "Masa muda adalah masa yang berapi-api" kata bang haji Roma. Tapi saya kurang setuju dengan lirik-lirik selanjutnya, "yang maunya menang sendiri, walau salah tak perduli"
(ketauan ne penggemar dangdut), walaupun tak sepenuhnya salah, tetap
saja tidak sedikit pemuda pemudi islam yang memiliki ahlak mulia,
beriman dan bertaqwa kepada Allah ta'ala, dan tidak menuruti hawa nafsu
mudanya.
Buktinya banyak Ayat-ayat Alquran dan hadis yang menceritakan keutamaan para pemuda/pemudi.
Keutamaan Pemuda dalam Islam, Berikut adalah beberapa Ayat Al-quran dan hadis yang memuji para pemuda,
Allah berfirman :
"Maka tidak ada yang beriman kepada Musa, melainkan pemuda-pemuda
dari kaumnya (Musa) dalam Keadaan takut bahwa Fir'aun dan pemuka-pemuka
kaumnya akan menyiksa mereka. Sesungguhnya Fir'aun itu berbuat
sewenang-wenang di muka bumi. dan Sesungguhnya Dia Termasuk orang-orang
yang melampaui batas. " (Q.S.Yunus :83)
Kemudian dalam mengisah ashhabul kahfi Allah berfirman :
"Kami kisahkan kepadamu (Muhammad) cerita ini dengan benar. Sesungguhnya mereka adalah pemuda-pemuda yang beriman kepada Tuhan mereka, dan Kami tambah pula untuk mereka petunjuk. "( Q.S.Al Kahfi :13)
Allah berfirman :
Mereka berkata: "Kami dengar ada seorang pemuda yang mencela berhala-berhala ini yang bernama Ibrahim ".
Maksudnya ibrahim melakukan hal ini ketika usianya masih muda remaja.
Kemudian Al-Qur'an banyak membicarakan para pemuda yang telah mengukir
prestasi dalam berbagai keutamaan,antara lain adalah isma'il yang telah
rela mengorbankan dirinya untuk di potong lehernya karena taat pada
Allah dengan penuh kesadaran.
Al-Qur'an juga menceritakan pemuda lain kepada kita,yaitu nabi yusuf
alaihissalam. Ia di tawari oleh seorang wanita yang sangat cantik untuk
melakukan hubungan biologis,yang seandainya ia mau melakukannya tidak
ada sesuatupun yang dapat menghalanginya. Namun nabi yusuf menolak
ajakan tersebut dan memilih hidup mendekam di penjara semata-mata karena
keimanannya kepada Allah SWT.
Dalam Tafsir Ibn Katsir disebutkan bahwa mayoritas orang –orang yang
merespon baik seruan nabi adalah kalangan muda. Mereka diantaranya
adalah Shabat Abu Bakar yang masuk Islam pada Usia 38 tahun, Shabat Umar
masuk Islam pada umur 28 tahun dan Sayyidina Ali yang masuk Islam
kurang dari umur 10 tahun dan masih banyak yang lainnya yang masuk Islam
kisaran berumur 12,13,14 dan 15 Tahun.
Hadist Nabi
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam juga bersabda :
"Ada 7 golongan manusia yang akan dinaungi oleh Allah di bawah
naungan-Nya. Pada hari itu, tidak ada naungan, kecuali nanungan Allah.
Golongan tersebut adalah pemimpin yang adil, pemuda yang tumbuh
di dalam beribadah kepada Allah, seseorang yang hatinya senantiasa
terpaut dengan masjid-masjid, dua orang yang saling mengasihi karena
Allah, mereka bertemu dan berpisah karena Allah, seorang laki-laki yang
diundang oleh seorang perempuan yang berkedudukan dan berwajah elok
(untuk melakukan kejahatan) tetapi dia berkata, 'Aku takut kepada
Allah!', seorang yang memberi sedekah, tetapi dia merahasiakannya
sehingga tangan kirinya tidak mengetahui apa yang diberikan oleh tangan
kanannya, dan seorang yang mengingat Allah di kala sendirian sehingga
menetes air matanya." (HR Bukhori)
Dalam hadis lain, Rasulullah SAW bersabda:
"Sesungguhnya Allah Ta’ala benar-benar kagum terhadap seorang pemuda yang tidak memiliki shabwah." (HR Ahmad, Thabrani dalam al-Mu`jamul Kabir dan lainnya).
Kata shabwah yang dikaitkan dengan pemuda pada hadis di atas, dijelaskan
dalam kitab Faidhul Qadir (2/263) sebagai pemuda yang tidak
memperturutkan hawa nafsunya. Sebaliknya, dia membiasakan diri melakukan
kebaikan dan berusaha keras menjauhi keburukan.
Terakhir, dua buah hadist yang
semoga bisa menjadi peringatan untuk kita semua, para pemuda, untuk
tidak menyianyiakan masa muda tersebut dengan hal-hal yang bisa
mendatangkan murka Allah.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda dalam hadits Abdullah bin Mas'ud radhiallahu 'anhu,
"Tidak akan beranjak kaki anak Adam pada Hari Kiamat dari sisi
Rabbnya sampai dia ditanya tentang 5 (perkara) : Tentang umurnya dimana
dia habiskan, tentang masa mudanya dimana dia usangkan, tentang hartanya
dari mana dia mendapatkannya dan kemana dia keluarkan dan tentang apa
yang telah dia amalkan dari ilmunya". (HR. At-Tirmizi)
Dari Ibnu ‘Abbas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
[1] Waktu mudamu sebelum datang waktu tuamu,
[2] Waktu sehatmu sebelum datang waktu sakitmu,
[3] Masa kayamu sebelum datang masa kefakiranmu,
[4] Masa luangmu sebelum datang masa sibukmu,
[5] Hidupmu sebelum datang kematianmu."
(HR. Al Hakim dalam Al Mustadroknya, dikatakan oleh Adz Dzahabiy dalam
At Talkhish berdasarkan syarat Bukhari-Muslim. Hadits ini dikatakan
shohih oleh Syaikh Al Albani dalam Al Jami’ Ash Shogir)
Sekian Tulisan, Keutamaan Pemuda dalam Islam, semoga bisa
menjadi bahan renungan untuk kita semua, dan semoga Allah selalu
membimbing kita di jalannya, agar tidak terlena dan tidak menjadi
golongan-golongan orang merugi.
Wassalamualaikum
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: Orang yang berbahagia adalah yang
merasa khawatir terhadap amal-amalnya kalau-kalau itu tidak tulus ikhlas
karena Allah dalam melaksanakan agama, atau barangkali apa yang
dilakukannya tidak sesuai dengan apa yang diperintahkan Allah melalui
lisan Rasul-Nya. [lihat Mawa'izh Syaikhil Islam, hal. 88] Ibnu Abi Mulaikah -seorang tabi’in- berkata, “Aku telah bertemu dengan tiga puluh orang Sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Mereka semua takut kemunafikan ada pada dirinya. Tidak ada seorang pun
diantara mereka yang mengatakan bahwa keimanannya sejajar dengan
keimanan Jibril dan Mika’il.” [lihat Fath al-Bari [1/137]] Masruq rahimahullah
berkata, “Cukuplah menjadi tanda keilmuan seorang tatkala dia merasa
takut kepada Allah. Dan cukuplah menjadi tanda kebodohan seorang apabila
dia merasa ujub dengan amalnya.” [lihat Min A'lam as-Salaf [1/23]] al-Hasan rahimahullah
menangis sejadi-jadinya, maka ditanyakan kepadanya, “Wahai Abu Sa’id,
apa yang membuatmu menangis?”. Maka beliau menjawab, “Karena takut kalau
Allah melemparkan aku ke dalam neraka dan tidak memperdulikan nasibku
lagi.” [lihat Aina Nahnu min Haa'ulaa'i, hal. 75] ‘Umar bin al-Khaththab radhiyallahu’anhu
berkata, “Seandainya ada yang berseru dari langit: ‘Wahai umat manusia
masuklah kalian semuanya ke dalam surga kecuali satu orang’ aku takut
orang itu adalah aku. Dan seandainya ada yang berseru dari langit:
‘Wahai umat manusia, masuklah masuklah kalian semuanya ke dalam neraka
kecuali satu orang’, maka aku berharap satu orang itu adalah aku.” [lihat at-Tahdzib al-Maudhu'i li Hilyat al-Auliya', hal. 301] Ibnu Mubarak rahimahullah berkata, “Semestinya orang yang paling banyak ilmunya diantara kalian adalah orang yang paling besar rasa takutnya.” [lihat at-Tahdzib al-Maudhu'i li Hilyat al-Auliya', hal. 312] Imam Nawawi rahimahullah
berkata, “Ketahuilah, bahwasanya keikhlasan seringkali terserang oleh
penyakit ujub. Barangsiapa yang ujub dengan amalnya maka amalnya
terhapus. Begitu pula orang yang menyombongkan diri dengan amalnya maka
amalnya pun menjadi terhapus.” [lihat Ta'thir al-Anfas, hal. 584]
Disebut Jum’at karena hari tersebut adalah hari berkumpulnya kaum
Muslimin. Hari Jum’at termasuk hari ‘Id kaum Muslimin setiap pekannya.
Dari Aus bin ‘Aus, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda,
“Sesungguhnya di antara hari kalian yang paling utama adalah hari
Jum’at. Di hari itu, Adam diciptakan; di hari itu, Adam meninggal; di
hari itu, tiupan sangkakala pertama dilaksanakan; di hari itu pula,
tiupan kedua dilakukan.” (HR. Abu Daud, An Nasai, Ibnu Majah dan Ahmad,
shahih)
Di antara amalan di hari Jum’at adalah sebagai berikut: 1.Terlarang mengkhususkan malam Jum’at dengan shalat dan siang harinya dengan berpuasa.
Dari Abu Hurairah, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda,
“Janganlah mengkhususkan malam Jum’at dengan shalat tertentu dan
janganlah mengkhususkan hari Jum’at dengan berpuasa kecuali jika
bertepatan dengan puasa yang mesti dikerjakan ketika itu.” (HR. Muslim)
Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Dalam hadits ini menunjukkan dalil
yang tegas dari pendapat mayoritas ulama Syafi’iyah dan yang sependapat
dengan mereka mengenai dimakruhkannya mengerjakan puasa secara
bersendirian pada hari Jum’at. Hal ini dikecualikan jika puasa tersebut
adalah puasa yang bertepatan dengan kebiasaannya, atau ia berpuasa pada
hari sebelum atau sesudahnya, atau bertepatan dengan puasa nadzarnya
seperti ia bernadzar meminta kesembuhan dari penyakitnya.” (Syarh Shahih
Muslim, 8/19) 2.Ketika shalat Shubuh di hari Jum’at dianjurkan membaca Surat As Sajdah dan Surat Al Insan.
Dari Abu Hurairah, beliau berkata, “Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam biasa membaca pada shalat Shubuh di hari Jum’at “Alam Tanzil …”
(surat As Sajdah) pada raka’at pertama dan “Hal ataa ‘alal insaani hiinum minad dahri lam yakun syai-am madzkura” (surat Al Insan) pada raka’at kedua.” (HR. Muslim) 3.Memperbanyak shalawat kepada Nabi di hari Jum’at.
Dari Abu Umamah, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda,
“Perbanyaklah shalawat kepadaku pada setiap Jum’at. Karena shalawat
umatku akan diperlihatkan padaku pada setiap Jum’at. Barangsiapa yang
banyak bershalawat kepadaku, dialah yang paling dekat denganku pada hari
kiamat nanti.” (HR. Baihaqi dalam Sunan Al Kubro, hasan lighoirihi). 4.Dianjurkan membaca Surat Al Kahfi di malam atau siang hari Jum’at.
Dari Abu Sa’id Al Khudri, Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
bersabda, “Barangsiapa membaca surat Al Kahfi pada hari Jum’at, maka ia
akan disinari oleh cahaya di antara dua jum’at” (HR. Hakim, shahih).
Dalam lafazh lainnya disebutkan, “Barangsiapa membaca surat Al Kahfi
pada malam Jum’at, maka ia akan mendapat cahaya antara dirinya dan rumah
yang mulia (Ka’bah).” (HR. Ad Darimi, shahih mauquf) 5.Memperbanyak do’a di hari Jum’at.
Dari Abu Hurairah, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
menyebutkan tentang hari Jum’at, lantas beliau bersabda, “Di hari Jum’at
terdapat suatu waktu yang tidaklah seorang hamba muslim yang ia berdiri
melaksanakan shalat lantas ia memanjatkan suatu do’a pada Allah
bertepatan dengan waktu tersebut melainkan Allah akan memberi apa yang
ia minta.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Ada hadits yang menyebutkan tentang kapan waktu mustajab di hari
Jum’at yang dimaksud. Hadits tersebut adalah dari Jabir bin ‘Abdillah
radhiyallahu ‘anhu, dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam,
beliau bersabda, “Waktu siang di hari Jum’at ada 12 (jam). Jika seorang
Muslim memohon pada Allah ‘Azza wa Jalla sesuatu (di suatu waktu di hari
Jum’at) pasti Allah ‘Azza wa Jalla akan mengabulkannya. Carilah waktu
tersebut yaitu di waktu-waktu akhir setelah ‘Ashar.” (HR. Abu Daud). 6.Mandi Jum’at
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Barangsiapa (yang
menggauli istrinya) sehingga mewajibkan mandi pada hari Jum’at kemudian
diapun mandi, lalu bangun pagi dan berangkat (ke masjid) pagi-pagi, dia
berjalan dan tidak berkendara, kemudian duduk dekat imam dan
mendengarkan khutbah dengan seksama tanpa sendau gurau, niscaya ia
mendapat pahala amal dari setiap langkahnya selama setahun, balasan
puasa dan shalat malam harinya.” (HR. Tirmidzi no. 496, An Nasai
3/95-96, Ibnu Majah no. 1078, dan Ahmad 4/9)
Mandi Jum’at ini menurut jumhur (mayoritas) ulama, hukumnya adalah
sunnah (bukan wajib). Di antara alasannya adalah dalil, “Barangsiapa
berwudhu di hari Jum’at, maka itu baik. Namun barangsiapa mandi ketika
itu, maka itu lebih afdhal.” (HR. An Nasai, At Tirmidzi dan Ibnu Majah,
shahih).
Al Bahuti Al Hambali mengatakan, “Awal mandi Jum’at adalah ketika
terbit fajar dan tidak boleh sebelumnya. Namun yang paling afdhol adalah
ketika hendak berangkat shalat Jum’at. Inilah yang lebih mendekati
maksud.” Imam Nawawi menyebutkan, “Jika seseorang mandi setelah terbit
fajar (Shubuh), mandi Jum’atnya sah menurut ulama Syafi’iyah dan
mayoritas ulama.”
Di antara keutamaan mandi jum’at disebutkan dalam hadits, “Barang
siapa berwudhu’ kemudian menyempurnakan wudhu’nya lalu mendatangi shalat
Jum’at, lalu dia mendekat, mendengarkan serta berdiam diri (untuk
menyimak khutbah), maka akan diampuni dosa-dosanya di antara hari itu
sampai Jum’at (berikutnya) dan ditambah tiga hari setelah itu. Barang
siapa yang bermain kerikil, maka ia telah melakukan perbuatan
sia-sia.”(HR. Muslim)
Menurut
pengertian bahasa (literal), aurat adalah al-nuqshaan wa al-syai’
al-mustaqabbih (kekurangan dan sesuatu yang mendatangkan celaan).
Diantara bentuk pecahan katanya adalah ‘awara`, yang bermakna qabiih
(tercela); yakni aurat manusia dan semua yang bisa menyebabkan rasa
malu. Disebut aurat, karena tercela bila terlihat (ditampakkan).
Imam al-Raziy, dalam kamus Mukhtaar al-Shihaah hal 461, menyatakan, “‘al-aurat: sau`atu al-insaan wa kullu maa yustahyaa minhu (aurat adalah aurat manusia dan semua hal yang menyebabkan malu.”
Dalam Syarah Sunan Ibnu Majah juz 1/276, disebutkan, bahwa aurat adalah kullu
maa yastahyii minhu wa yasuu`u shahibahu in yura minhu (setiap yang
menyebabkan malu, dan membawa aib bagi pemiliknya jika terlihat)”.
Imam Syarbiniy dalam kitab Mughniy al-Muhtaaj, berkata,” Secara literal, aurat bermakna al-nuqshaan (kekurangan) wa al-syai`u al-mustaqbihu (sesuatu yang menyebabkan celaan).Disebut seperti itu, karena ia akan menyebabkan celaan jika terlihat.“
Dalam kamus Lisaan al-’Arab juz 4/616, disebutkan, “Kullu ‘aib wa khalal fi syai’ fahuwa ‘aurat (setiap aib dan cacat cela pada sesuatu disebut dengan aurat).Wa syai` mu’wirun au ‘awirun: laa haafidza lahu (sesuatu itu tidak memiliki penjaga (penahan)).”
Imam Syaukani, di dalam kitab Fath al-Qadiir, menyatakan;
“Makna asal dari aurat adalah al-khalal (aib, cela, cacat).Setelah
itu, makna aurat lebih lebih banyak digunakan untuk mengungkapkan aib
yang terjadi pada sesuatu yang seharusnya dijaga dan ditutup, yakni tiga
waktu ketika penutup dibuka.Al-A’masy membacanya dengan huruf wawu difathah; ‘awaraat.Bacaan seperti ini berasal dari bahasa suku Hudzail dan Tamim.”
Batasan Aurat bagi Wanita
Batasan Aurat Menurut Madzhab Syafi’iy
Di dalam kitab al-Muhadzdzab juz 1/64, Imam al-Syiraaziy berkata;
“Hadits
yang diriwayatkan dari Abu Sa’id al-Khuduriy, bahwasanya Nabi saw
bersabda, “Aurat laki-laki adalah antara pusat dan lutut.Sedangkan aurat wanita adalah seluruh badannya, kecuali muka dan kedua telapak tangan.”
Mohammad bin Ahmad al-Syasyiy, dalam kitab Haliyat al-’Ulama berkata;
“.. Sedangkan aurat wanita adalah seluruh badan, kecuali muka dan kedua telapak tangan.”
Al-Haitsamiy, dalam kitab Manhaj al-Qawiim juz 1/232, berkata;
“..Sedangkan
aurat wanita merdeka, masih kecil maupun dewasa, baik ketika sholat,
berhadapan dengan laki-laki asing (non mahram) walaupun di luarnya,
adalah seluruh badan kecuali muka dan kedua telapak tangan.”
Dalam kitab al-Umm juz 1/89 dinyatakan;
” ….Aurat perempuan adalah seluruh badannya, kecuali muka dan kedua telapak tangan.”
Al-Dimyathiy, dalam kitab I’aanat al-Thaalibiin, menyatakan;
“..aurat wanita adalah seluruh badan kecuali muka dan telapak tangan”.
Di dalam kitab Mughniy al-Muhtaaj, juz 1/185, Imam Syarbiniy menyatakan;
” …Sedangkan aurat wanita adalah seluruh tubuh selain wajah dan kedua telapak tangan…”
Batasan Aurat Menurut Madzhab Hanbaliy
Di dalam kitab al-Mubadda’, Abu Ishaq menyatakan;
“Aurat laki-laki dan budak perempuan adalah antara pusat dan lutut.Hanya saja, jika warna kulitnya yang putih dan merah masih kelihatan, maka ia tidak disebut menutup aurat.Namun,
jika warna kulitnya tertutup, walaupun bentuk tubuhnya masih kelihatan,
maka sholatnya sah. Sedangkan aurat wanita merdeka adalah seluruh
tubuh, hingga kukunya.Ibnu Hubairah menyatakan, bahwa inilah pendapat yang masyhur.Al-Qadliy
berkata, ini adalah pendapat Imam Ahmad; berdasarkan sabda Rasulullah,
“Seluruh badan wanita adalah aurat” [HR. Turmudziy, hasan shahih]….Dalam
madzhab ini tidak ada perselisihan bolehnya wanita membuka wajahnya di
dalam sholat, seperti yang telah disebutkan.di dalam kitab al-Mughniy, dan lain-lainnya.”[1]
Di dalam kitab al-Mughniy, juz 1/349, Ibnu Qudamah menyatakan, bahwa
” Mayoritas
ulama sepakat bahwa seorang wanita boleh membuka wajah dan mereka juga
sepakat; seorang wanita mesti mengenakan kerudung yang menutupi
kepalanya.Jika seorang wanita sholat, sedangkan kepalanya
terbuka, ia wajib mengulangi sholatnya….Abu Hanifah berpendapat, bahwa
kedua mata kaki bukanlah termasuk aurat..Imam Malik, Auza’iy, dan
Syafi’iy berpendirian; seluruh tubuh wanita adalah aurat, kecuali muka
dan kedua telapak tangan.Selain keduanya (muka dan telapak tangan) wajib untuk ditutup ketika hendak mengerjakan sholat…”
Di dalam kitab al-Furuu juz 1/285′,karya salah seorang ulama Hanbaliy, dituturkan sebagai berikut;
“Seluruh tubuh wanita merdeka adalah aurat kecuali muka, dan kedua telapak tangan –ini dipilih oleh mayoritas ulama…..”
Batasan Aurat Menurut Madzhab Malikiy
Dalam kitab Kifayaat al-Thaalib juz 1/215, Abu al-Hasan al-Malikiy menyatakan, ““Aurat wanita merdeka adalah seluruh tubuh, kecuali muka dan kedua telapak tangan..”.
Dalam Hasyiyah Dasuqiy juz 1/215, dinyatakaN, “Walhasil, aurat haram untuk dilihat meskipun tidak dinikmati.Ini jika aurat tersebut tidak tertutup.Adapun
jika aurat tersebut tertutup, maka boleh melihatnya. Ini berbeda dengan
menyentuh di atas kain penutup; hal ini (menyentuh aurat yang tertutup)
tidak boleh jika kain itu bersambung (melekat) dengan auratnya, namun
jika kain itu terpisah dari auratnya, …sedangkan aurat wanita muslimah
adalah selain wajah dan kedua telapak tangan…”
Dalam kitab Syarah al-Zarqaaniy, disebutkan, “Yang demikian itu diperbolehkan.Sebab, aurat wanita adalah seluruh tubuh kecuali muka dan telapak tangan…”
Mohammad bin Yusuf, dalam kitab al-Taaj wa al-Ikliil, berkata, “….Aurat
budak perempuan adalah seluruh tubuh kecuali wajah dan kedua telapak
tangan dan tempat kerudung (kepala)…Untuk seorang wanita, boleh ia
menampakkan kepada wanita lain sebagaimana ia boleh menampakkannya
kepada laki-laki –menurut Ibnu Rusyd, tidak ada perbedaan pendapat dalam
hal ini-, wajah dan kedua telapak tangan..”
Batasan Aurat Menurut Madzhab Hanafiy
Abu al-Husain, dalam kitab al-Hidayah Syarh al-Bidaayah mengatakan;
“Adapun
aurat laki-laki adalah antara pusat dan lututnya…ada pula yang
meriwayatkan bahwa selain pusat hingga mencapai lututnya. Dengan
demikian, pusat bukanlah termasuk aurat.Berbeda dengan apa yang dinyatakan oleh Imam Syafi’iy ra, lutut termasuk aurat.Sedangkan seluruh tubuh wanita merdeka adalah aurat kecuali muka dan kedua telapak tangan…”[2]
Dalam kitab Badaai’ al-Shanaai’ disebutkan;
“Oleh karena itu, menurut madzhab kami, lutut termasuk aurat, sedangkan pusat tidak termasuk aurat.Ini berbeda dengan pendapat Imam Syafi’iy.Yang benar adalah pendapat kami, berdasarkan sabda Rasulullah saw, “Apa yang ada di bawah pusat dan lutut adalah aurat.”Ini menunjukkan bahwa lutut termasuk aurat.”[3]
Aurat Wanita; Seluruh Tubuh Selain Muka dan Kedua Telapak Tangan
Jumhur
‘ulama bersepakat; aurat wanita meliputi seluruh tubuh, kecuali muka
dan kedua telapak tangan. Dalilnya adalah firman Allah swt:
“Katakanlah
kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan
memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya,
kecuali yang (biasa) nampak daripadanya. Dan hendaklah mereka menutupkan
kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali
kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau
putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau
saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara laki-laki
mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita
Islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan
laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau
anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka
memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan.
Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang
beriman supaya kamu beruntung.”[al-Nuur:31]
Menurut
Imam Thabariy dalam Tafsir al-Thabariy, juz 18/118, makna yang lebih
tepat untuk “perhiasan yang biasa tampak” adalah muka dan telapak
tangan. Keduanya bukanlah aurat, dan boleh ditampakkan di kehidupan
umum.Sedangkan selain muka dan telapak tangan adalah
aurat, dan tidak boleh ditampakkan kepada laki-laki asing, kecuali suami
dan mahram.Penafsiran semacam ini didasarkan pada sebuah
riwayat shahih; Aisyah ra telah menceritakan, bahwa Asma binti Abu Bakar
masuk ke ruangan wanita dengan berpakaian tipis, maka Rasulullah saw.
pun berpaling seraya berkata;
“Wahai Asma’ sesungguhnya perempuan itu jika telah baligh tidak pantas menampakkan tubuhnya kecuali ini dan ini,sambil menunjuk telapak tangan dan wajahnya.”[HR. Muslim]
Imam
Qurthubiy Tafsir Qurthubiy, juz 12/229; Imam Al-Suyuthiy, Durr
al-Mantsuur, juz 6/178-182; Zaad al-Masiir, juz 6/30-32; menyatakan,
bahwa ayat di atas merupakan perintah dari Allah swt kepada wanita
Mukminat agar tidak menampakkan perhiasannya kepada para laki-laki
penglihat, kecuali hal-hal yang dikecualikan bagi para laki-laki
penglihat.Selanjutnya, Allah swt mengecualikan perhiasan-perhiasan yang boleh dilihat oleh laki-laki penglihat, pada frase selanjutnya.Hanya saja, para ulama berbeda pendapat mengenai batasan perhiasan yang boleh ditampakkan oleh wanita.Ibnu Mas’ud mengatakan, bahwa maksud frase “illa ma dzahara minha” adalah dzaahir al-ziinah” (perhiasan dzahir), yakni baju.Sedangkan menurut Ibnu Jabir adalah baju dan wajah.Sa’id bin Jabiir, ‘Atha’ dan Auza’iy berpendapat; muka, kedua telapak tangan, dan baju.
Menurut
Imam al-Nasafiy, yang dimaksud dengan “al-ziinah” (perhiasan) adalah
semua yang digunakan oleh wanita untuk berhias, misalnya, cincin,
kalung, gelang, dan sebagainya.Sedangkan yang dimaksud dengan “al-ziinah” (perhiasan) di sini adalah “mawaadli’ al-ziinah” (tempat menaruh perhiasan).Artinya,
maksud dari ayat di atas adalah “janganlah kalian menampakkan anggota
tubuh yang biasa digunakan untuk menaruh perhiasan, kecuali yang biasa
tampak; yakni muka, kedua telapak tangan, dan dua mata kaki”[4].
Syarat-syarat Menutup Aurat
Menutup aurat harus dilakukan hingga warna kulitnya tertutup.Seseorang
tidak bisa dikatakan melakukan “satru al-’aurat” (menutup aurat) jika
auratnya sekedar ditutup dengan kain atau sesuatu yang tipis hingga
warna kulitnya masih tampak kehilatan.Dalil yang
menunjukkan ketentuan ini adalah sebuah hadits yang diriwayatkan dari
‘Aisyah ra, ra bahwasanya Asma’ binti Abubakar telah masuk ke ruangan
Nabi saw dengan berpakaian tipis/transparan, lalu Rasulullah saw.
berpaling seraya bersabda, “Wahai Asma sesungguhnya seorang wanita
itu apabila telah baligh (haidl) tidak pantas baginya untuk menampakkan
tubuhnya kecuali ini dan ini.”
Dalam
hadits ini, Rasulullah saw. menganggap bahwa Asma’ belum menutup
auratnya, meskipun Asma telah menutup auratnya dengan kain transparan.
Oleh karena itu lalu Nabi saw berpaling seraya memerintahkannya menutupi
auratnya, yaitu mengenakan pakaian yang dapat menutupi .Dalil lain yang menunjukkan masalah ini adalah hadits riwayat Usamah, bahwasanya ia ditanyai oleh Nabi saw tentang kain tipis.Usamah menjawab, bahwasanya ia telah mengenakannya terhadap isterinya, maka Rasulullah saw. bersabda kepadanya:
“Suruhlah isterimu melilitkan di bagian dalam kain tipis, karena sesungguhnya aku khawatir kalau-kalau nampak lekuk tubuhnya.”
Qabtiyah dalam lafadz di atas adalah sehelai kain tipis.Oleh
karena itu tatkala Rasulullah saw. mengetahui bahwasanya Usamah
mengenakan kepada isterinya kain tipis, beliau memerintahkan agar kain
itu dikenakan pada bagian dalam kain supaya tidak kelihatan warna
kulitnya.Beliau bersabda,”Suruhlah isterimu melilitkan di bagian dalamnya kain tipis.”Kedua
hadits ini menunjukkan dengan sangat jelas, bahwasanya aurat harus
ditutup dengan sesuatu, hingga warna kulitnya tidak tampak.
Khimar (Kerudung) dan Jilbab; Busana Wanita Di Luar Rumah
Selain
memerintahkan wanita untuk menutup auratnya, syariat Islam juga
mewajibkan wanita untuk mengenakan busana khusus ketika hendak keluar
rumah.Sebab, Islam telah mensyariatkan pakaian tertentu yang harus dikenakan wanita ketika berada depan khalayak umum.Kewajiban
wanita mengenakan busana Islamiy ketika keluar rumah merupakan
kewajiban tersendiri yang terpisah dari kewajiban menutup aurat.Dengan
kata lain, kewajiban menutup aurat adalah satu sisi, sedangkan
kewajiban mengenakan busana Islamiy (jilbab dan khimar) adalah kewajiban
di sisi yang lain.Dua kewajiban ini tidak boleh dicampuradukkan, sehingga muncul persepsi yang salah terhadap keduanya.
Dalam konteks “menutup aurat” (satru al-’aurat), syariat Islam tidak mensyaratkan bentuk pakaian tertentu, atau bahan tertentu untuk dijadikan sebagai penutup aurat.Syariat hanya mensyaratkan agar sesuatu yang dijadikan penutup aurat, harus mampu menutupi warna kulit.Oleh
karena itu, seorang wanita Muslim boleh saja mengenakan pakaian dengan
model apapun, semampang bisa menutupi auratnya secara sempurna.Hanya
saja, ketika ia hendak keluar dari rumah, ia tidak boleh pergi dengan
pakaian sembarang, walaupun pakaian itu bisa menutupi auratnya dengan
sempurna.Akan tetapi, ia wajib mengenakan khimar (kerudung) dan jilbab yang dikenakan di atas pakaian biasanya.Sebab,
syariat telah menetapkan jilbab dan khimar sebagai busana Islamiy yang
wajib dikenakan seorang wanita Muslim ketika berada di luar rumah, atau
berada di kehidupan umum.
Walhasil,
walaupun seorang wanita telah menutup auratnya, yakni menutup seluruh
tubuhnya, kecuali muka dan kedua telapak tangan, ia tetap tidak boleh
keluar keluar dari rumah sebelum mengenakan khimar dan jilbab.
Perintah Mengenakan Khimar
Pakaian yang telah ditetapkan oleh syariat Islam bagi wanita ketika ia keluar di kehidupan umum adalah khimar dan jilbab.Dalil yang menunjukkan perintah ini adalah firman Allah swt;
وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ
“Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya..”[al-Nuur:31]
Ayat ini berisi perintah dari Allah swt agar wanita mengenakan khimar (kerudung), yang bisa menutup kepala, leher, dan dada.
Imam Ibnu Mandzur di dalam kitab Lisaan al-’Arab menuturkan; al-khimaarli al-mar`ah : al-nashiif (khimar bagi perempuan adalah al-nashiif (penutup kepala).Ada pula yang menyatakan; khimaar adalah kain penutup yang digunakan wanita untuk menutup kepalanya.Bentuk pluralnya adalah akhmirah, khumr atau khumur.[5]
Khimar (kerudung) adalah ghitha’ al-ra’si ‘ala shudur (penutup kepala hingga mencapai dada), agar leher dan dadanya tidak tampak.[6]
Dalam Kitab al-Tibyaan fi Tafsiir Ghariib al-Quran dinyatakan;
“Khumurihinna, bentuk jamak (plural) dari khimaar, yang bermakna al-miqna’ (penutup kepala).Dinamakan seperti itu karena, kepala ditutup dengannya (khimar)..”[7]
Ibnu al-’Arabiy di dalam kitab Ahkaam al-Quran menyatakan, “Jaib” adalah kerah baju, dan khimar adalah penutup kepala .Imam
Bukhari meriwayatkan sebuah hadits dari ‘Aisyah ra, bahwasanya ia
berkata, “Semoga Allah mengasihi wanita-wanita Muhajir yang pertama.Ketika
diturunkan firman Allah swt “Dan hendaklah mereka menutupkan kain
kerudung mereka ke dada mereka”, mereka membelah kain selendang mereka”.
Di dalam riwayat yang lain disebutkan, “Mereka membelah kain mereka,
lalu berkerudung dengan kain itu, seakan-akan siapa saja yang memiliki
selendang, dia akan membelahnya selendangnya, dan siapa saja yang
mempunyai kain, ia akan membelah kainnya.”Ini menunjukkan, bahwa leher dan dada ditutupi dengan kain yang mereka miliki.”[8]
Di dalam kitab Fath al-Baariy, al-Hafidz Ibnu Hajar menyatakan, “Adapun
yang dimaksud dengan frase “fakhtamarna bihaa” (lalu mereka berkerudung
dengan kain itu), adalah para wanita itu meletakkan kerudung di atas
kepalanya, kemudian menjulurkannya dari samping kanan ke pundak kiri.Itulah yang disebut dengan taqannu’ (berkerudung).Al-Farra’ berkata,”Pada masa jahiliyyah, wanita mengulurkan kerudungnya dari belakang dan membuka bagian depannya.Setelah itu, mereka diperintahkan untuk menutupinya.Khimar (kerudung) bagi wanita mirip dengan ‘imamah (sorban) bagi laki-laki.”[9]
Imam Ibnu Katsir dalam Tafsir Ibnu Katsir menyatakan;
“Khumur adalah bentuk jamak (plural) dari khimaar; yakni apa-apa yang bisa menutupi kepala.Khimaar
kadang-kadang disebut oleh masyarakat dengan kerudung (al-miqaana’),
Sa’id bin Jabir berkata, “wal yadlribna : walyasydadna bi khumurihinna
‘ala juyuubihinna, ya’ni ‘ala al-nahr wa al-shadr, fa laa yara syai`
minhu (walyadlribna : ulurkanlah kerudung-kerudung mereka di atas kerah
mereka, yakni di atas leher dan dada mereka, sehingga tidak terlihat
apapun darinya).”[10]
Imam Syaukaniy dalam Fath al-Qadiir, berkata;
“Khumur
adalah bentuk plural dari khimar; yakni apa-apa yang digunakan penutup
kepala oleh seorang wanita..al-Juyuub adalah bentuk jamak dari jaib yang
bermakna al-qath’u min dur’u wa al-qamiish (kerah baju)..Para ahli
tafsir mengatakan; dahulu, wanita-wanita jahiliyyah menutupkan
kerudungnya ke belakang, sedangkan kerah baju mereka bagian depan
terlalu lebar (luas), hingga akhirnya, leher dan kalung mereka terlihat.Setelah
itu, mereka diperintahkan untuk mengulurkan kain kerudung mereka di
atas dada mereka untuk menutup apa yang selama ini tampak”.[11]
Dalam kitab Zaad al-Masiir, dituturkan;
“Khumur
adalah bentuk jamak dari khimar, yakni maa tughthiy bihi al-mar`atu
ra`sahaa (apa-apa yang digunakan wanita untuk menutupi kepalanya).Makna ayat ini (al-Nuur:31) adalah hendaknya para wanita itu menjulurkan kerudungnya (al-miqna’) di atas dada mereka;yang dengan itu, mereka bisa menutupi rambut, anting-anting, dan leher mereka.”[12]
Perintah Mengenakan Jilbab
Adapun kewajiban mengenakan jilbab bagi wanita Mukminat dijelaskan di dalam surat al-Ahzab ayat 59.Allah swt berfirman :
“Hai
Nabi katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan
isteri-isteri orang mu’min: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke
seluruh tubuh mereka”. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk
dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha
pengampun lagi Maha penyayang”.[al-Ahzab:59]
Ayat ini merupakan perintah yang sangat jelas kepada wanita-wanita Mukminat untuk mengenakan jilbab.Adapun yang dimaksud dengan jilbab adalah milhafah (baju kurung) dan mula’ah (kain panjang yang tidak berjahit).Di dalam kamus al-Muhith dinyatakan, bahwa jilbab itu seperti sirdaab
(terowongan) atau sinmaar (lorong), yakni baju atau pakaian longgar
bagi wanita selain baju kurung atau kain apa saja yang dapat menutup
pakaian kesehariannya seperti halnya baju kurung.”[Kamus al-Muhith].Sedangkan dalam kamus al-Shahhah, al-Jauhari mengatakan, “jilbab adalah kain panjang dan longgar (milhafah) yang sering disebut dengan mula’ah (baju kurung).”[Kamus al-Shahhah, al-Jauhariy]
Di dalam kamus Lisaan al-’Arab dituturkan;al-jilbab ; al-qamish (baju);
wa al-jilbaab tsaub awsaa’ min al-khimaar duuna ridaa’ tughthi bihi
al-mar`ah ra’sahaa wa shadrahaa (baju yang lebih luas daripada khimar,
namun berbeda dengan ridaa’, yang dikenakan wanita untuk menutupi kepala
dan dadanya.”Ada pula yang mengatakan al-jilbaab: tsaub al-waasi’ duuna milhafah talbasuhaa al-mar`ah (pakaian luas yang berbeda dengan baju kurung, yang dikenakan wanita).Ada pula yang menyatakan; al-jilbaab : al-milhafah (baju kurung).[13]
Al-Zamakhsyariy, dalam tafsir al-Kasysyaf menyatakan, “Jilbab adalah pakaian luas, dan lebih luas daripada kerudung, namun lebih sempit daripada rida’ (juba).[14]
Imam Qurthubiy di dalam Tafsir Qurthubiy menyatakan, “Jilbaab adalah tsaub al-akbar min al-khimaar (pakaian yang lebih besar daripada kerudung).Diriwayatkan
dari Ibnu ‘Abbas dan Ibnu Mas’ud, jilbaab adalah ridaa’ (jubah atau
mantel). Ada pula yang menyatakan ia adalah al-qanaa’ (kerudung).Yang benar, jilbab adalah tsaub yasturu jamii’ al-badan (pakaian yang menutupi seluruh badan).Di
dalam shahih Muslim diriwayatkan sebuah hadits dari Ummu ‘Athiyyah,
bahwasanya ia berkata, “Ya Rasulullah , salah seorang wanita diantara
kami tidak memiliki jilbab.Nabi menjawab,”Hendaknya, saudaranya meminjamkan jilbab untuknya”.[15]
Dalam Tafsir Ibnu Katsir, Imam Ibnu Katsir menyatakan, “al-jilbaab huwa al-ridaa` fauq al-khimaar (jubah yang dikenakan di atas kerudung).Ibnu
Mas’ud, ‘Ubaidah, Qatadah, al-Hasan al-Bashriy, Sa’id bin Jabiir,
Ibrahim al-Nakha’iy, ‘Atha’ al-Khuraasaniy, dan lain-lain, berpendapat
bahwa jilbab itu kedudukannya sama dengan (al-izaar) sarung pada saat
ini.Al-Jauhariy berkata, “al-Jilbaab; al-Milhafah (baju kurung).”[16]
Imam Syaukani, dalam Tafsir Fathu al-Qadiir, mengatakan;
“Al-jilbaab wa huwa al-tsaub al-akbar min al-khimaar (pakaian yang lebih besar dibandingkan kerudung).Al-Jauhari berkata, “al-Jilbaab; al-milhafah (baju kurung).Ada yang menyatakan al-qanaa’ (kerudung), ada pula yang menyatakan tsaub yasturu jamii’ al-badan al-mar`ah.”[17]
Al-Hafidz al-Suyuthiy dalam Tafsir Jalalain berkata;
”
Jilbaab adalah al-mulaa`ah (kain panjang yang tak berjahit) yang
digunakan selimut oleh wanita, yakni, sebagiannya diulurkan di atas
wajahnya, jika seorang wanita hendak keluar untuk suatu keperluan,
hingga tinggal satu mata saja yang tampak”[18]
Ancaman Bagi Orang yang Membuka Auratnya
Imam Muslim menuturkan sebuah riwayat, bahwasanya Rasulullah saw bersabda;
“Ada
dua golongan manusia yang menjadi penghuni neraka, yang sebelumnya aku
tidak pernah melihatnya; yakni, sekelompok orang yang memiliki cambuk
seperti ekor sapi yang digunakan untuk menyakiti umat manusia; dan
wanita yang membuka auratnya dan berpakaian tipis merangsang
berlenggak-lenggok dan berlagak, kepalanya digelung seperti punuk onta.Mereka tidak akan dapat masuk surga dan mencium baunya.Padahal, bau surga dapat tercium dari jarak sekian-sekian.”[HR. Imam Muslim].
Di dalam Syarah Shahih Muslim, Imam Nawawiy berkata, “Hadits ini termasuk salah satu mukjizat kenabian.Sungguh, akan muncul kedua golongan itu.Hadits ini bertutur tentang celaan kepada dua golongan tersebut.Sebagian
‘ulama berpendapat, bahwa maksud dari hadits ini adalah wanita-wanita
yang ingkar terhadap nikmat, dan tidak pernah bersyukur atas karunia
Allah.Sedangkan ulama lain berpendapat, bahwa mereka
adalah wanita-wanita yang menutup sebagian tubuhnya, dan menyingkap
sebagian tubuhnya yang lain, untuk menampakkan kecantikannya atau karena
tujuan yang lain.Sebagian ulama lain berpendapat, mereka
adalah wanita yang mengenakan pakaian tipis yang menampakkan warna
kulitnya (transparan)…Kepala mereka digelung dengan kain kerudung,
sorban, atau yang lainnya, hingga tampak besar seperti punuk onta.”
Imam Ahmad juga meriwayatkan sebuah hadits dari Abu Hurairah dengan redaksi berbeda.
“Ada
dua golongan penghuni neraka, yang aku tidak pernah melihat keduanya
sebelumnya. Wanita-wanita yang telanjang, berpakaian tipis, dan
berlenggak-lenggok, dan kepalanya digelung seperti punuk onta.Mereka
tidak akan masuk surga, dan mencium baunya. Dan laki-laki yang memiliki
cambuk seperti ekor sapi yang digunakan untuk menyakiti umat manusia “[HR. Imam Ahmad]
Hadits-hadits
di atas merupakan ancaman yang sangat keras bagi wanita yang
menampakkan sebagian atau keseluruhan auratnya, berbusana tipis, dan
berlenggak-lenggok.
Kesimpulan
Syariat Islam telah mewajibkan wanita untuk menutup anggota tubuhnya yang termasuk aurat.Seorang
wanita diharamkan menampakkan auratnya di kehidupan umum, di hadapan
laki-laki non mahram, atau ketika ia melaksanakan ibadah-ibadah tertentu
yang mensyaratkan adanya satru al-’aurat (menutup aurat).
Aurat
wanita adalah seluruh tubuh kecuali muka dan kedua telapak tangan.
Seseorang baru disebut menutup aurat, jika warna kulit tubuhnya tidak
lagi tampak dari luar.Dengan kata lain, penutup yang
digunakan untuk menutup aurat tidak boleh transparan hingga warna
kulitnya masih tampak; akan tetapi harus mampu menutup warna kulit.
Ancaman
bagi yang tidak menurut aurat adalah tidak mencium bau surge alias
neraka, karena tidak amanah, tidak tunduk kepada aturan sang Kholik.[Arief Adiningrat]
[1]Abu Ishaq, al-Mubadda’, juz 1/360-363.Diskusi masalah ini sangatlah panjang.Menurut Ibnu Hubairah danImam Ahmad, dalam satu riwayat; aurat wanita adalah seluruh tubuh, kecuali wajah dan kedua telapak tangannya.Sedangkan dalam riwayat lain Imam Ahmad menyatakan, bahwa seluruh badan wanita adalah aurat.[Ibnu Hubairah, al-Ifshaah 'an Ma'aaniy al-Shihaah, juz 1/86
Abu al-Husain, al-Hidaayah Syarh al-Bidaayah, juz 1/43
[4]Imam al-Nasafiy, tafsir al-Nasaafiy, juz 3/143. Dalam kitab Ruuh al-Ma’aaniy, juz 18/140, dituturkan, “Diungkapkan
dengan perkataan “al-ziinah” (perhiasan), bukan “anggota tubuh tempat
menaruh perhiasan”, ditujukan untuk memberikan kesan penyangatan dalam
hal perintah untuk menutup aurat..Sedangkan yang boleh ditampakkan adalah muka dan kedua telapak tangan..Imam Ibnu Katsir, dalam Tafsir Ibnu Katsir, juz 3/285, menyatakan; menurut jumhur ulama tafsir, “illa ma dzahara minhaa” diartikan muka dan kedua telapak tangan.
Penyakit Yang Menimpa Perempuan Yang Membuka Aurat (Hikmah Di Balik Perintah Menutup Aurat)
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam ketika menyebutkan dua golongan yang diancam nereka,
beliau shallallahu ‘alaihi wasallam menyebutkan satu golongan di antara
mereka dengan sabda beliau:
” …Dan kaum wanita yang berpakaian
tetapi telanjang (karena pakaiannya tipis dan tembus pandang),
menyimpang (dari kehormatannya) dan mengajak wanita lain untuk berbuat
seperti dirinya, kepala mereka seperti punuk unta yang miring, mereka
tidak akan masuk syurga dan tidak akan mendapati aromanya, padahal
aromanya bisa didapat dari jarak perjalanan sekian dan sekian.” (HR. Muslim)
Dan beliau shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda:
( لا تقبل صلاة حائض إلا بخمار ) رواه الإمام أحمد وأبوداود والترمذي وابن ماجه
“Tidak diterima shalat seorang perempuan yang sudah haidh
(maksudnya sudah baligh) kecuali dengan memakai khimar (kerudung yang
menutup kepala).” (HR. Hadits shahih, diriwayatkan oleh imam Ahmad, Abu Dawud, at-Tirmidzi dan Ibnu Majah)
Maka kedua hadits di atas menunjukkan wajibnya seorang wanita
muslimah untuk menutup auratnya, dan bahwasanya Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam mengancam para wanita membuka auratnya dengan ancaman
neraka. Dan sebagaimana sudah kita ketahui bersama, bahwasanya tidak
syari’at ini memerintahkan sesuatu kecuali di sana ada maslahat, dan
tidaklah melarang dari sesuatu kecuali karena di sana ada mafsadat
(bahaya). Berikut ini hasil penelitian ilmuwan modern seputar masalah
ini:
Penelitian ilmiah modern telah membuktikan bahwa pamer aurat dan
“buka-bukaan” yang dilakukan para perempuan mendatangkan musibah kepada
diri mereka, yang mana data statistik saat ini menunjukkan bahwa terjadi
penyebaran penyakit kanker ganas pada bagian tubuh perempuan yang
terbuka, terutama pada perempuan yang memakai pakaian pendek.
Telah diterbitkan dalam British Medical Journal, bahwa kanker ganas
melanoma, yang dahulu merupakan salah satu jenis kanker yang paling
langka, sekarang jumlahnya meningkat. Dan bahwasanya jumlah
terjangkitnya penyakit tersebut pada anak perempuan di usia belia
sekarang meningkat, yang mana mereka terjangkit penyakit tersebut di
kaki-kaki mereka. Dan bahwa sebab utama tersebarnya kanker ganas ini
adalah tersebarnya seragam pendek, yang mana hal itu menjadikan tubuh
mereka terkena paparan sinar matahari dalam waktu yang lama sepanjang
tahun dan bahwasanya kaus kaki yang transparan atau nilon tidak
bermanfaat untuk mencegahnya.
Majalah tersebut mengajak para dokter untuk berpartisipasi dalam
pengumpulan informasi tentang penyakit ini, seolah-olah hal ini
hampir-hampir menjadi sebuah wabah. Sesungguhnya hal tersebut
mengingatkan kita pada firman-Nya Subhanahu wa Ta’ala:
” Dan (ingatlah), ketika mereka (orang-orang musyrik) berkata:”Ya
Allah, jika betul (al-Qur’an) ini, dialah yang benar dari sisi Engkau,
maka hujanilah kami batu dari langit, atau datangkanlah kepada kami azab
yang pedih.”(QS. Al-Anfaal: 32)
Dan adzab yang pediah atau sebagiannya telah menimpa mereka dalam
bentuk kanker ganas, yang merupakan jenis kanker paling berbahaya. Dan
penyakit ini adalah buah dari terkenanya tubuh seseorang oleh sinar
matahari dan radiasi ultraviolet dalam waktu yang lama. Dan itulah hal
yang dihasilkan dari pakaian pendek atau pakaian renang di tepi pantai.
Dan yang perlu diperhatikan adalah bahwa ia mengenai seluruh badan
dan dengan kadar yang berbeda-beda. Pertama ia muncul seperti bercak
hitam kecil, dan terkadang sangat kecil. Dan kebanyakan hal itu terjadi
di mata kaki atau betis, dan kadang-kadang di daerah mata, kemudian
mulai tersebar di semua tempat dan arah (dalam tubuh), padahal bersamaan
dengan itu ia juga bertambah dan tumbuh di tempat pertama kali muncul.
Lalu ia menyerang kelenjar getah bening di pangkal paha dan darah dan
akhirnya menetap di hati (liver) dan menghancurkannya.
Dan terkadang ia menetap di semua anggota badan, di antaranya tulang
dan bagian dalam tubuh, termasuk ginjal. Dan bisa jadi serangan terhadap
ginjal diikuti dengan air kencing yang berwarna hitam, sebagai akibat
terserangnya ginjal oleh kanker ganas.
Dan terkadang ia akan menular ke janin di dalam rahim ibu, dan
penyakit ini tidak memberikan waktu yang lama kepada pengidapnya,
sebagaimana juga pengobatan dengan operasi tidak memberikan jaminan
untuk bertahan hidup (selamat) sebagaimana jenis-jenis kanker yang lain,
di mana jenis kanker ini tidak bisa diobati dengan penyinaran. Dari
sini nampak terlihat hikmah hukum Islam yang memerintahkan wanita untuk
memakai pakaian yang menutup seluruh tubuhnya, dengan pakaian yang
longgar, tidak sempit, dan tidak tipis, dengan dibolehkannya membuka
wajah dan telapak tangan (menurut salah satu pendapat ulama,red).
Maka telah menjadi jelaslah bahwa pakaian kesucian dan
kehormatan diri, adalah perlindungan terbaik dari siksaan dunia, yang
terwujud dalam penyakit ini, dan lebih-lebih dari adzab/siksa akhirat.
Kemudian, apakah setelah dukungan ilmu pengetahuan modern terhadap apa
yang telah ditetapkan oleh syari’at yang bijaksana masih ada
argument/dalih untuk membolehkan para wanita bersolek dan memamerkan
auratnya??!!