Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata:
Orang yang berbahagia adalah yang
merasa khawatir terhadap amal-amalnya kalau-kalau itu tidak tulus ikhlas
karena Allah dalam melaksanakan agama, atau barangkali apa yang
dilakukannya tidak sesuai dengan apa yang diperintahkan Allah melalui
lisan Rasul-Nya.
[lihat Mawa'izh Syaikhil Islam, hal. 88]
Ibnu Abi Mulaikah -seorang tabi’in- berkata, “Aku telah bertemu dengan tiga puluh orang Sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Mereka semua takut kemunafikan ada pada dirinya. Tidak ada seorang pun
diantara mereka yang mengatakan bahwa keimanannya sejajar dengan
keimanan Jibril dan Mika’il.”
[lihat Fath al-Bari [1/137]]
Masruq rahimahullah
berkata, “Cukuplah menjadi tanda keilmuan seorang tatkala dia merasa
takut kepada Allah. Dan cukuplah menjadi tanda kebodohan seorang apabila
dia merasa ujub dengan amalnya.”
[lihat Min A'lam as-Salaf [1/23]]
al-Hasan rahimahullah
menangis sejadi-jadinya, maka ditanyakan kepadanya, “Wahai Abu Sa’id,
apa yang membuatmu menangis?”. Maka beliau menjawab, “Karena takut kalau
Allah melemparkan aku ke dalam neraka dan tidak memperdulikan nasibku
lagi.”
[lihat Aina Nahnu min Haa'ulaa'i, hal. 75]
‘Umar bin al-Khaththab radhiyallahu’anhu
berkata, “Seandainya ada yang berseru dari langit: ‘Wahai umat manusia
masuklah kalian semuanya ke dalam surga kecuali satu orang’ aku takut
orang itu adalah aku. Dan seandainya ada yang berseru dari langit:
‘Wahai umat manusia, masuklah masuklah kalian semuanya ke dalam neraka
kecuali satu orang’, maka aku berharap satu orang itu adalah aku.”
[lihat at-Tahdzib al-Maudhu'i li Hilyat al-Auliya', hal. 301]
Ibnu Mubarak rahimahullah berkata, “Semestinya orang yang paling banyak ilmunya diantara kalian adalah orang yang paling besar rasa takutnya.”
[lihat at-Tahdzib al-Maudhu'i li Hilyat al-Auliya', hal. 312]
Imam Nawawi rahimahullah
berkata, “Ketahuilah, bahwasanya keikhlasan seringkali terserang oleh
penyakit ujub. Barangsiapa yang ujub dengan amalnya maka amalnya
terhapus. Begitu pula orang yang menyombongkan diri dengan amalnya maka
amalnya pun menjadi terhapus.”
[lihat Ta'thir al-Anfas, hal. 584]
Rabu, 26 Februari 2014
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar